A. Pengertian Hukum Internasional
Prof Dr. Mochtar Kusumaatmaja mengatakan bahwa Hukum Internasional
adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan
atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara negara dengan
negara, negara dengan subjek hukum internasional lainnya.
Ciri Subyek Hukum Internasional
Dewasa ini subjek-subjek hukum internasional yang diakui oleh masyarakat internasional, adalah:
Negara
Menurut
Konvensi Montevideo 1949, mengenai Hak dan Kewajiban Negara,
kualifikasi suatu negara untuk disebut sebagai pribadi dalam hukum
internasional adalah:
- Penduduk yang tetap
- Wilayah tertentu
- Pemenintahan
- Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain
Beberapa
literatur menyebutkan bahwa negara adalah subjek hukum internasional
yang utama, bahkan ada beberapa literatur yang menyebutkan bahwa negara
adalah satu-satunya subjek hukum internasional.
Alasan yang mendasari pendapat yang menyatakan bahwa negara adalah subjek hukum internasional yang utama adalah:
- Hukum internasional mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara, sehingga yang harus diatur oleh hukum internasional terutama adalah Negara.
- Pearjanjian internasional merupakan sumber hukum internasional yang utama dimana negara yang paling berperan menciptakannya.
Organisasi Internasional
Klasifikasi organisasi internasional menurut Theodore A Couloumbis dan James 11. Wolfe:
- Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa;
- Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO, International Monetary Fund, International Labor Organization, dan lain-lain;
- Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global, antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union.
Dasar hukum yang menyatakan bahwa organisasi internasional adalah subjeh hukum internasional adalab pasal 104 piagam PBB.
Palang Merah Internasional
Sebenarnya
Palang Merah Internasional, hanyalah merupakan salah satu jenis
organisasi internasional. Namun karena faktor sejarah, keberadaan Palang
Merah Internasional di dalam hubungan dan hukum internasional menjadi
sangat unik dan di samping itu juga menjadi sangat strategis. Pada awal
mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam yang
lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang
berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak
di bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang
Merah Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara,
yang kemudian membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing
wilayahnya. Palang Merah Nasional dan negara-negara itu kemudian
dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International Committee of
the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss. (Phartiana, 2003;
123)
Dasar hukumya:
- Internasionai committee of red cross (ICRC)
- Konvensi jenewa 1949 tentang perlindungan korban perang
Tahta Suci Vatikan
Tahta
Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan
Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan
Tahta Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma.
Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai
pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum
internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya,
tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada
bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan
moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan
umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia. Oleh
karena itu, banyak negara membuka hubungan diplomatik dengan Tahta Suci,
dengan cara menempatkan kedutaan besarnya di Vatikan dan demikian juga
sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan kedutaan besarnya di berbagai
negara. (Phartiana, 2003, 125)
Dasar hukumnya:
- Lateran Tretay (11 february 1929)
Kaum Pemberontak/Beligerensi (Belligerent)
Kaum
beligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dan masalah dalam negeri
suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya
merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan
tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan
akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain,
maka salah satu sikap yang dapat diambil adalah mengakui eksistensi atau
menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri,
walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh
pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan
tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum
pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum
internasional.
Dasar hukumnya:
- Hak untuk menentukan nasib sendiri
- Hak untuk memilih sistem ekonomi, social dan budaya sendiri
- Hak untuk menguasai sumber daya alam
Individu
Pertumbuhan
dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan hak
dan membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung kepada
individu semakin bertambah pesat, terutama setelah Perang Dunia II.
Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa
konvensi-konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, dan hal ini
semakin mengukuhkan eksistensi individu sebagai subyek hukum
internasional yang mandiri.
Dasar hukumnya:
- Perjanjian Versailles 1919 pasal 297 dan 304
- Perjanjian upersilesia 1922
- Keputusan permanent court of justice 1928
- Perjanjian London 1945 (lnggris, Prancis, Rusia, USA)
- Konvensi Genocide 1948
Perumusan Multinasional
Perusahaan
multinasional memang merupakan fenomena baru dalam hukum dan hubungan
internasional. Eksistensinya dewasa ini memang merupakan suatu fakta
yang tidak bisa disangkal lagi. Di beberapa tempat, negara-negara dan
organisasi internasional mengadakan hubungan dengan
perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian melahirkan hak-hak dan
kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap
eksistensi, struktur substansi dan ruang lingkup hukurn internasional
itu sendiri.
Sejarah dan Perkembangan Hukum Internasional
Hukum
internasional sebenarnya sudah sejak lama dikenal eksisitensinya, yaitu
pada zaman Romawi Kuno. Orang-orang Romawi Kuno mengenal dua jenis
hukum, yaitu Ius Ceville dan Ius Gentium, Ius Ceville adalah hukum nasional yang berlaku bagi masyarakat Romawi, dimanapun mereka berada, sedangkan Ius Gentium adalah hukum yang diterapkan bagi orang asing, yang bukan berkebangsaan Romawi.
Dalam perkembangannya, Ius Gentium berubah menjadi Ius Inter Gentium yang lebih dikenal juga dengan Volkenrecth (Jerman), Droit de Gens (Perancis) dan kemudian juga dikenal sebagai Law of Nations (Inggris). (Kusumaatmadja, 1999 ; 4)
Sesungguhnya,
hukum internasional modern mulai berkembang pesat pada abad XVI, yaitu
sejak ditandatanganinya Perjanjian Westphalia 1648, yang mengakhiri
perang 30 tahun (thirty years war) di Eropa. Sejak saat itulah,
mulai muncul negara-negara yang bercirikan kebangsaan, kewilayahan atau
territorial, kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat. Dalam
kondisi semacam inilah sangat dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional. (Phartiana, 2003 ;
41)
Perkembangan
hukum internasional modern ini, juga dipengaruhi oleh karya-karya tokoh
kenamaan Eropa, yang terbagi menjadi dua aliran utama, yaitu golongan
Naturalis dan golongan Positivis.
Menurut
golongan Naturalis, prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum
bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip
yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan yang dapat ditemui
oleh akal sehat. Hukum harus dicari, dan bukan dibuat. Golongan
Naturalis mendasarkan prinsip-prinsip atas dasar hukum alam yang
bersumber dari ajaran Tuhan. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah
Hugo de Groot atau Grotius, Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez dan
Alberico Gentillis. (Mauna, 2003 ; 6)
Sementara
itu, menurut golongan Positivis, hukum yang mengatur hubungan antar
negara adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-negara dan atas
kemauan mereka sendiri. Dasar hukum internasional adalah kesepakatan
bersama antara negara-negara yang diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian
dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Seperti yang dinyatakan oleh
Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contract Social, La loi c’est l’expression de la Volonte Generale,
bahwa hukum adalah pernyataan kehendak bersama. Tokoh lain yang
menganut aliran Positivis ini, antara lain Cornelius van Bynkershoek,
Prof. Ricard Zouche dan Emerich de Vattel
Pada
abad XIX, hukum internasional berkembang dengan cepat, karena adanya
faktor-faktor penunjang, antara lain : (1) Setelah Kongres Wina 1815,
negara-negara Eropa berjanji untuk selalu menggunakan prinsip-prinsip
hukum internasional dalam hubungannya satu sama lain, (2). Banyak
dibuatnya perjanjian-perjanjian (law-making treaties) di bidang
perang, netralitas, peradilan dan arbitrase, (3). Berkembangnya
perundingan-perundingan multilateral yang juga melahirkan
ketentuan-ketentuan hukum baru.
Di
abad XX, hukum internasional mengalami perkembangan yang sangat pesat,
karena dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut: (1). Banyaknya
negara-negara baru yang lahir sebagai akibat dekolonisasi dan
meningkatnya hubungan antar negara, (2). Kemajuan pesat teknologi dan
ilmu pengetahuan yang mengharuskan dibuatnya ketentuan-ketentuan baru
yang mengatur kerjasama antar negara di berbagai bidang, (3). Banyaknya
perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat, baik bersifat
bilateral, regional maupun bersifat global, (4). Bermunculannya
organisasi-organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa Bangsa
dan berbagai organ subsidernya, serta Badan-badan Khusus dalam kerangka
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyiapkan ketentuan-ketentuan baru
dalam berbagai bidang. (Mauna, 2003; 7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar