ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang berlaku terhitung mulai tanggal 16 Agustus 1999, dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan (UU ini sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana korupsi). Adapun tujuan dengan di Undangkannya UU Korupsi ini diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan, perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
1. Mengkaji menurut format dan isi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
a. Pengertian
Di
dalam Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi terdapat 3 istilah hukum yang
perlu diperjelas, yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan negara
dan perekonomian negara. Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah:
· Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
· Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara (sesuai Pasal 2 dan 3
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999)
Sedangkan pengertian Keuangan Negara
dalam undang-undang ini adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk
apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk
didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban
yang timbul karenanya :
· berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga
Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah.
· berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan
yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak
ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Batasan mengenai Perekonomian Negara
menurut UU tersebut sebagai berikut : kehidupan perekonomian yang
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha
masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah,
baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan
manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
(sesuai dengan Perekonomian Negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3 )
Undang-undang
bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan atau perekonomian
negara yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya tindak
pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan
seluas-luasnya sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum.
Dengan
rumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi
dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan
keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Perbuatan
melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil
maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana sesuai Pasal 2 ayat 1.
Selanjutnya
Tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini dirumuskan secara tegas
sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting untuk pembuktian.
Dengan rumusan formil yang dianut dalam undang-undang ini berarti
meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak
pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap dipidana sesuai
dengan Pasal 4 Yang berbunyi sebagai berikut :
· Pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 3.
Penjelasan
dari pasal tersebut adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi,
melakukan perbuatan yang memenuhi unsur -unsur pasal dimaksud, dimana
pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara, yang telah
dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut.
Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tersebut hanya
merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya.
Dalam
undang-undang ini juga diatur perihal korporasi sebagai subyek tindak
pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi pidana dimana hal ini tidak
diatur sebelumnya yakni dalam undang-undang tindak pidana korupsi yaitu
undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.
Undang-undang
ini bertujuan dalam memberantas tindak pidana korupsi memuat
ketentuan-ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya,
yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih
tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana.
Selain itu undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku
tindak pidana korupsi yang tidak membayar pidana tambahan berupa uang
pengganti kerugian negara sesuai dengan Pasal 18.
Pengertian
Pegawai Negeri dalam undang-undang ini juga disebutkan yaitu orang yang
menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari negara atau masyarakat. Fasilitas yang dimaksud adalah
perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga
pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang
eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 1 ayat 2 ).
Kemudian
apabila terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka
dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung RI.
sedangkan proses penyidikannya dan penuntutannya dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan
dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak pidana
korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari tersangka atau
terdakwa. (sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 27).
Dalam
rangka memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
tindak pidana korupsi, undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik
,penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara
untuk dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan keuangan
tersangka atau terdakwa kepada Bank dengan mengajukan hal tersebut
kepada Gubernur Bank Indonesia dapat dibaca pada Pasal 29 tentang
rahasia Bank).
b. Pembuktian Terbalik
Undang-undang
ini juga mengatur penerapan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas
atau berimbang. Yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa
apabila terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
istrinya atau suaminya, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan
dakwaannya. (sesuai dengan pasal 28 dan Pasal 37)
c. Peran Serta Masyarakat
Undang-undang
ini juga memberikan peran serta masyarakat dan kesempatan yang
seluas-luasnya dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta
diberikan perlindungan hukum dan penghargaan setinggi-tingginya oleh
Pemerintah sesuai ketentuan Pasal 41 UU ini dan Pasal 102, 103 KUHAP).
Dari
uraian tersebut di atas dapat disampaikan bahwa dalam rangka mencapai
tujuan yang lebih efektif sebagai wahana pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ini dilengkapi
berbagai macam ketentuan pidana yang perbeda dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 1971, adapun berbedaan tersebut adalah sebagai berikut :
|
Nomor
|
Ancaman Pidana
|
UU 7/1971
|
UU 31/1999
|
Pasal
| |
|
UU 7/1971
|
UU 31/1999
| ||||
|
1
|
Ancaman pidana maksimal
|
· Seumur hidup
· atau pidana penjara 20 th
|
pidana mati
|
Ps 28, 29, 30, 31, 32.
|
Ps 2(2)
|
|
2
|
Ancaman pidana minimum
|
tidak ada ancaman pidana minimum
|
ada ancaman pidana minimum
|
Ps 28, 29, 30, 31.
|
Ps 2(1), 3, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12.
|
|
3
|
Ancaman pidana
denda maksimal
|
maks Rp 30 juta
|
maks Rp 1 milyar
|
Ps 28
|
Ps 2(1)
|
|
4
|
Ancaman pidana
denda minimum
|
tidak ada ancaman
|
ada ancaman
|
Ps 28, 29, 30, 31.
|
Ps 2(1), 3, 5, 7, 8, 10, 11, 12.
|
|
5
|
Ancaman pidana tambahan/pengganti
|
tidak ada sanksi
|
ada anksi
|
Ps 34c
|
Ps 18(3)
|
Tampak
bahwa undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 lebih lengkap dan lebih berat
ancaman pidananya dari pada undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, baik dari
segi normatif maupun dari segi sanksinya.
d. Aturan Peralihan
Di
samping mengandung banyak kelebihan, ternyata dalam undang-undang
Nomor31 Tahun 1999 terdapat pula kekurangan-kekurangan dimana pembuat
undang-undang tidak melengkapi aturan peralihan. Hal ini berbeda pada
waktu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 menggantikan Undang-undang Nomor
24 Prp. Tahun 1960, Pembuat Undang-undang mencantumkan Pasal 36
(Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971) sebagai Aturan Peralihan yang
berbunyi sebagai berikut :
Terhadap
segala tindak pidana korupsi yang telah dilakukan saat UU. Ini berlaku,
tetapi diperiksa dan diadili setelah UU ini berlaku, maka diberlakukan
UU yang berlaku pada saat tindak pidana dilakukan.
Peranan
Aturan Peralihan ini adalah mengatur keadaan yang terjadi, namun belum
dituntaskan penanganannya hingga lahirnya UU baru. Tidak dilengkapinya
Undang-undang Nomor31 Tahun 1999 dengan Aturan Peralihan, terkesan telah
terjadi kekosongan hukum sehingga tidak mustahil menimbulkan suatu
pertanyaan dasar hukum yang akan bisa dipergunakan oleh aparat penegak
hukum untuk menangani kasus-kasus perbuatan korupsi dalam era UU 3 tahun
1971, namun penanganannya pada era Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Sedangkan dalam Pasal 44 Undang-undang Nomor31 Tahun 1999 menyatakan :
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam
Pasal 45 Undang-undang Nomor31 Tahun 1999 menyatakan bahwa:
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Dari
uraian tersebut di atas, secara sepintas nampak kesan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 tidak bisa digunakan lagi sejak tanggal
diundangkannya UU 31 Tahun 1999, yaitu tanggal 16 Agustus 1999, sebab UU
31 tahun 1999 tidak dilengkapi Aturan Peralihan, juga dengan merujuk
asas umum dalam pasal 1 KUH Pidana UU Pidana hanya berjalan ke depan dan
tidak berlaku surut, maka Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 hanya dapat
digunakan terhadap perbuatan korupsi yang terjadi setelah tanggal 16
Agustus 1999.
Untuk
mengatasi dilema demikian maka , aparat penegak hukum seyogianya
merujuk pada Pasal 1 KUHPidana, Pasal 1 ayat (1) KUHPidana menegaskan UU
Pidana hanya berjalan ke depan dan tidak berlaku surut, perbuatan
pidana diadili berdasarkan UU Pidana yang sudah ada sebelum perbuatan
pidana itu terjadi, dan bukan berdasarkan UU Pidana yang baru.
Dalam
hal terjadi perubahan perundang-undangan pidana, maka Pasal 1 ayat (1
dan 2) KUHPidana berfungsi sebagai Aturan Peralihan. Bila terjadi
perubahan perundang-undangan pidana setelah perbuatan pidana dilakukan,
maka terhadap terdakwa diterapkannya ketentuan yang paling meringankan
terdakwa.
Dengan
merujuk pada rumusan tersebut di atas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat
1 dan 2 KUHPidana, maka berkaitan dengan dasar hukum yang dapat
digunakan sebagai landasan menangani kasus tindak pidana korupsi yang
dilakukan sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diperoleh
jalan keluar penyelesaiannya yang secara hukum dan dapat
dipertanggungjawabkan yaitu:
· berdasarkan
rumusan tersebut di atas yaitu Pasal 1 ayat (1) KUHPidana, maka aturan
pidana yang dipergunakan sebagai dasar hukum untuk menyidik, menuntut,
dan mengadili Tindak Pidana korupsi sebelum berlakunya Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 adalah aturan pidana korupsi yang sudah ada saat
kasus itu terjadi yaitu Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
· Undang-undang
yang baru yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ternyata lebih berat
baik dari segi normatif maupun sanksinya dari pada Undang-undang Nomor 3
tahun 1971
· berdasarkan
rumusan Pasal 1 ayat (2) KUHPidana di atas, Aturan Pidana Korupsi yang
lebih menguntungkan bagi tersangka adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun
1971 daripada Undang-undang Nomor 31 tahun 1999.
Dari penjelasan sebagaimana tersebut di atas dapat disimpulkan sementara bahwa :
· Penyebutan
dalam Pasal 44 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 bahwa Undang-undang
Nomor 3 tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku lagi adalah dalam pengertian
apabila Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 dipergunakan sebagai dasar
hukum untuk menangani perbuatan korupsi yang terjadi atau dilakukan
sebelum tanggal 16 Agustus 1999. Dengan landasan prinsip hukum dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHPidana, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 masih
dapat dipergunakan sebagai dasar hukum penindakannya.
Langkah
hukum bagi penegak hukum yang ditempuh dapat mempergunakan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 sebagai dasar hukum dalam penanganan
kasus tindak pidana korupsi yang terjadi atau dilakukan sebelum tanggal
16 Agustus 1999.
2. Kelemahan Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi (Kelemahan Yuridis Materiil)
a. Masalah kualifikasi delik.
Dalam Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi tidak di cantumkan kualifikasi delik berupa kejahatan dan
pelanggaran
Akibatnya
masalah-masalah yang berkaitan dengan concursus, daluarsa penuntutan
pidana dan daluarsa pelaksanaan pidana (contoh: Daluarsa penuntutan
pidana untuk kejahatan dan pelanggaran) Pasal 78 KUHP
1. Kewenangan menurut pidana hapus karena daluarsa;
2. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
3. Mengenai
kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau
pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah duabelas tahun;
5. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun;
b. Tidak adanya pedoman pelaksanaan pidana minimal khusus
Bagaimana bila ada factor yang memperingan pidana? Apakah pidana minimalnya atau maksimalnya yang diperingan atau diperberat?
Tidak adanya aturan atau pedoman khusus yang untuk menerapkan sanksi pidana yang dirumuskan dengan system kumulasi
Contoh:
Pasal 2 UU 31/1999 (memperkaya diri) diancam dengan kumulatif dan Pasal
3 UU 31/1999 (menyalahgunakan kewenangan) dirumuskan dengan kumulatif
alternative, padahal secara teoritis bobot deliknya sama
c. Pidana pokok korporasi hanya denda (Pasal 20)
Padahal
jika dilihat seharusnya penutupan korporasi/pencabutan izin usaha dalam
waktu tertentu dapat dilakukan sebagai pengganti pidana perampasan
kemerdekaan
d. Tidak adanya ketentuan khusus mengenai pelaksanaan pidana denda yang tidak dibayar oleh korporasi
Pasal
30 KUHP (apabila denda tidak dibayar diganti oleh pidana kurungan
pengganti selama 6 bulan) tidak dapat diterpakan untuk korporasi
e. Tidak adanya ketentuan khusus yang merumuskan pengertian dari istilah pemufakatan jahat
f. Atper
dalam Pasal 43 A UU 20/2001 yang dinilai berlebihan yang dinilai
berlebihan karena secara sistemik sudah ada Pasal 1 ayat (2) KUHP
g. Formulasi Pidana Mati yang hanya berlaku untuk satu pasal yakni Pasal 2 ayat (1) yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (2)
Dalam penjelasan
Yang
dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan
sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan berbahaya
sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana
alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu
Negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter
Keadaan
tertentu seperti Negara dalam keadaan bahaya, keadaan bencabna alam
nasional mungkin terjadi hanya dalam waktu 50-60 tahun sekali begitu
juga dengan krisis ekonomi, sehingga pidana mati sulit dijatuhkan
h. Recidive
Dalam
Pasal 486 KUHP sebenarnya bisa menjaring pengulangan untuk TPK delik
jabatan UU 31/1999 yakni Pasal 8 (eks Pasal 415 KUHP), Pasal 10 (Pasal
417 KUHP), dan Pasal 12 sub f, g h (Pasal 425 KUHP)
Setelah
keluarnya UU 20/2001 ketiga Pasal KUHP itu termasuk pasal-pasal yang
dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 43 B, sehingga tidak bisa dijaring
dengan ketentuan recidive dalam KUHP
ih blognya keren deh!! :D
BalasHapushaayy.... salam kenal
BalasHapussebenarnya apa sih yg menjadi dasar suatu bencana bs dikatakan bencana alam nasional, apalagi d blog kamu d tulis mungkin terjadi hanya dalam waktu 50-60 thn sekali.
salam kenal,,
BalasHapusblog nya keren...
aku ada blog, tp gk ada musik'a begini...
gmna cara'a ya????
hahahhaha
nice to meet you too
BalasHapusbisa kok ya , heheheee
selamat malam,senang berjumpa dengan Anda:tlong dijelaskan kepada Saya,hubungan antara"rasa keadilan yang kemudian diikuti dengan kata"atau"norma2 kehidupan sosial dalam Masyarakat. yang berikut adalah apa hubungan antara norma2 kehidupan dalam Masyarakat dengan masalah tindak pidana korupsi. sekian,Terima Kasih.
BalasHapus